Friday, 31 July 2015

Reputasi Toksin Botulin Memperoleh Peremajaan

Toksin kuat yang dihasilkan oleh Clostiridium Botulinum menyebabkan botulisme (keracunan makanan) yang mematikan. Namun, racun mematikan yang mengerikan ini dimanfaatkan sebagai pengobatan untuk mengatasi gangguan gerakan tertentu dan, yang lebih baru, ditambahkan dalam daftar obat yang digunakan oleh ahli bedah kosmetik untuk melawan keriput.



Selama beberapa dekade terakhir, toksin botulinum, yang dipasarkan dalam dosis terapeutik sebagai botox, digunakan untuk mengobati sejumlah penyakit neurosmuskulus yang menimbulkan nyeri dan dikenal sebagai Distoni. Penyakit ini ditandai oleh spasme (kontraksi otot involunter yang berlebihan dan mentap) yang menyebabkan postur abnormal atau pemuntiran bagian tubuh, bergantung pada bagian tubuh yang terkena. Sebagai contoh, spasme leher yang menyebabkan nyeri dan kepala berputar ke satu sisi terjadi akibat tortikolis spasmodik, yaitu jenis distonia tersering. Gangguan ini diperkirakan disebabkan oleh asupan inhibitorik yang terlalu sedikit dibandingkan eksitatorik ke neuron motorik yang menyarafi otot bersangkutan. Penyebab ketidakseimbangan masukan neuron motorik ini tidak diketahui. Hasil akhir pengaktifan berlebihan neuron motorik adalah kontraksi otot menetap dan nyeri pada otot yang  disarafi neuron motorik tersebut. Untungnya, penyuntikan sejumlah kecil toksin botulin ke dalam otot yang terkena menyebabkan paralisis parsial reversibel otot tersebut. Toksin botulin menghambat pelepasan asetilkolin penyebab kontraksi otot dari neuron mototrik overaktif di taut neuromuskulus di otot yang terkena. Tujuannya adalah menyuntikkan toksin botulinum secukupnya untuk menghilangkan kontraksi spasmodik yang mengganggu tetapi tidak cukup untuk menghilangkan kontraksi normal yang diperlukan untuk gerakan biasa. Dosis terapeutik jauh lebih kecil daripada toksik yang dibutuhkan untuk memicu bahkan gejala ringan keracunan botulinum. Toksin botulinum akhirnya dibersihkan sehingga efek relaksasi ototnya akan hilang setelah tiga hingga enam bulan, yaitu saat terapi harus diulang.

Distonia pertama yang diizinkan diterapi dengan botox oleh Food and Drugs Administration (FDA) adalah blefarospasme (kelopak mata). Pada keadaan ini, kontraksi involunter dan menetap otot-otot disekitar mata hampir secara permanen menutup kelopak mata.

Potensi toksin botulinum sebagai opsi pengobatan bagi ahli bedah kosmetik ditemukan secara kebetulan ketika dokter mengamati bahwa penyuntikan yang digunakann untuk melawan kontraksi abnormal otot mata juga memperhalus keriput di bagian yang diobati. Ternyata garis keriput halus di sekitar mata, dan alur diatas alis disebabkan oleh aktivitas yang berebihan, atau kontraksi permanen, otot-otot wajah karena ekspresi wajah yang berulang selama bertahun-tahun. Dengan merelaksasikan otot-otot tersebut, toksin botulinum secara temporer memperhalus keriput terkait usia ini. Botox sekarang mendapat persetujuan dari FDA sebagai anti-keriput. Obat ini dianggap sebagai alternatif yang sangat baik bagi bedah peremajaan untuk mengatasi keriput dan kerut. Terapi ini adalah salah satu tindakan kosmetik yang paling cepat berkembang di Amerika Serikat, terutama di kalangan hiburan dan busana kelas atas. Namun seperti pemakaian terapeutiknya untuk Distonia, injeksi toksin botulinum yang mahal ini harus diulang setiap tiga hingga enam bulan untuk mempertahankan efeknya pada penampilan. Selain itu, Botox tidak dapat mengatasi keriput halus yang berkaitan dengan pajanan kronik sinar matahari karena keriput ini disehatkan oleh kerusakan kulit, bukan karena kontraksi otot.


  • Sherwood, Lauralee. 2013. “Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem”. Jakarta. EGC.

No comments:

Post a Comment