Toksin kuat yang
dihasilkan oleh Clostiridium Botulinum
menyebabkan botulisme (keracunan makanan) yang mematikan. Namun, racun
mematikan yang mengerikan ini dimanfaatkan sebagai pengobatan untuk mengatasi
gangguan gerakan tertentu dan, yang lebih baru, ditambahkan dalam daftar obat
yang digunakan oleh ahli bedah kosmetik untuk melawan keriput.
Selama beberapa
dekade terakhir, toksin botulinum, yang dipasarkan dalam dosis terapeutik
sebagai botox, digunakan untuk
mengobati sejumlah penyakit neurosmuskulus yang menimbulkan nyeri dan dikenal
sebagai Distoni. Penyakit ini ditandai oleh spasme (kontraksi otot
involunter yang berlebihan dan mentap) yang menyebabkan postur abnormal atau
pemuntiran bagian tubuh, bergantung pada bagian tubuh yang terkena. Sebagai
contoh, spasme leher yang menyebabkan nyeri dan kepala berputar ke satu sisi
terjadi akibat tortikolis spasmodik,
yaitu jenis distonia tersering. Gangguan ini diperkirakan disebabkan oleh
asupan inhibitorik yang terlalu sedikit dibandingkan eksitatorik ke neuron
motorik yang menyarafi otot bersangkutan. Penyebab ketidakseimbangan masukan
neuron motorik ini tidak diketahui. Hasil akhir pengaktifan berlebihan neuron
motorik adalah kontraksi otot menetap dan nyeri pada otot yang disarafi neuron motorik tersebut. Untungnya,
penyuntikan sejumlah kecil toksin botulin ke dalam otot yang terkena
menyebabkan paralisis parsial reversibel otot tersebut. Toksin botulin
menghambat pelepasan asetilkolin penyebab kontraksi otot dari neuron mototrik
overaktif di taut neuromuskulus di otot yang terkena. Tujuannya adalah
menyuntikkan toksin botulinum secukupnya untuk menghilangkan kontraksi
spasmodik yang mengganggu tetapi tidak cukup untuk menghilangkan kontraksi
normal yang diperlukan untuk gerakan biasa. Dosis terapeutik jauh lebih kecil
daripada toksik yang dibutuhkan untuk memicu bahkan gejala ringan keracunan
botulinum. Toksin botulinum akhirnya dibersihkan sehingga efek relaksasi
ototnya akan hilang setelah tiga hingga enam bulan, yaitu saat terapi harus
diulang.
Distonia pertama
yang diizinkan diterapi dengan botox oleh Food and Drugs Administration (FDA)
adalah blefarospasme (kelopak mata).
Pada keadaan ini, kontraksi involunter dan menetap otot-otot disekitar mata
hampir secara permanen menutup kelopak mata.
Potensi toksin
botulinum sebagai opsi pengobatan bagi ahli bedah kosmetik ditemukan secara
kebetulan ketika dokter mengamati bahwa penyuntikan yang digunakann untuk
melawan kontraksi abnormal otot mata juga memperhalus keriput di bagian yang
diobati. Ternyata garis keriput halus di sekitar mata, dan alur diatas alis
disebabkan oleh aktivitas yang berebihan, atau kontraksi permanen, otot-otot
wajah karena ekspresi wajah yang berulang selama bertahun-tahun. Dengan
merelaksasikan otot-otot tersebut, toksin botulinum secara temporer memperhalus
keriput terkait usia ini. Botox sekarang mendapat persetujuan dari FDA sebagai
anti-keriput. Obat ini dianggap sebagai alternatif yang sangat baik bagi bedah
peremajaan untuk mengatasi keriput dan kerut. Terapi ini adalah salah satu
tindakan kosmetik yang paling cepat berkembang di Amerika Serikat, terutama di
kalangan hiburan dan busana kelas atas. Namun seperti pemakaian terapeutiknya
untuk Distonia, injeksi toksin botulinum yang mahal ini harus diulang setiap
tiga hingga enam bulan untuk mempertahankan efeknya pada penampilan. Selain
itu, Botox tidak dapat mengatasi keriput halus yang berkaitan dengan pajanan
kronik sinar matahari karena keriput ini disehatkan oleh kerusakan kulit, bukan
karena kontraksi otot.
- Sherwood, Lauralee. 2013. “Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem”. Jakarta. EGC.
No comments:
Post a Comment